MEDIA DAN KONSTRUKSI SOSIAL (Kepanikan yang terjadi terhadap Covid-19)
![]() |
Muh. Anhar (Awardee Beasiswa NTB - UPSI Malaysia | Master of Communication) |
MASTER ELEVEN | OPINI Pengaruh media massa dalam
membentuk persepsi publik sangat mengemuka dalam konteks isu pandemik Corona.
Ketika pertama kali muncul di Wuhan, virus Corona (Covid-19) segera menjadi
perbincangan publik luas.
Dalam pemberitaan media massa
tentang kondisi Wuhan digambarkan sangatlah menakutkan ditambah video-video
yang beredar diplatform media sosial justru menciptakan teror mental bagi
pengguna media massa dan juga media sosial itu sendiri. Termasuk masyarakat
Indonesia, yang mempersepsikan Covid-19 sebagai sesuatu yang menyeramkan.
Sementara beberapa waktu sebelum
covid-19 berada di Indonesia platform media, baik media massa maupun media
sosial banyak ditemukan pernyataan nyeleneh dari pejabat negara dan tokoh-tokoh
nasional.
Pernyataan yang dimaksud berupa
"Jaga kesehatan dan tetap berdoa, jadi enjoy saja" kita anggap
sebagai kegagapan. Sementara Riset dari Universitas Harvard yang menyatakan
Covid-19 sudah ada di Indonesia dianggap sebagai sebagai bentuk
"penghinaan".
Dari mulai pernyataan meremehkan
skala krisis diawal diawal munculnya hingga pernyataan nyeleneh dari para
pejabat negara yang terus diproduksi oleh media massa secara berulang dan tetap
diberi ruang lebar. Pernyataan yang dimaksud mengalami amplifikasi secara
terus-menerus. Tanpa ada upaya kristis, untuk mempertimbangkan kembali efek apa
yang dihasilkan.
Sampai adanya proyeksi kepanikan
ketika untuk kali pertamanya Indonesia mengumumkan secara terbuka tetang adanya
pasien positif Covid-19. Kasus pertama yang dikonfirmasi diumumkan secara langsung
oleh presiden Joko Widodo dan didampingi oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus
Purwanto.
Pernyataan nyeleneh yang
disebutkan sebelumnya lambat-laun menampar publik Indonesia dengan keras. Pada
tahap inilah masyarakat 'dipaksa' untuk mengingat dan menghubungka-kaitkan
bagaimana situasi Covid-19 China dan negara lain dalam konteks ke-Indonesia-an.
Mengutip apa yang disampaikan
Wisnu Prasetyo Utomo (2020), kondisi ini
juga terjadi karena respon media massa terhadap kegagapan pemerintah dalam
merespon krisis yang terjadi. Efeknya, media massa yang pada awal krisis
bersikap lebih tenang dan beberapa beberapa media mengikuti narasi pemerintah
menjadi lebih keras dan advokatif.
Logical Fallacy Dimasa Pandemic Covid-19.
Sedangkan pada posisi yang
bersamaan media massa mulai membombardir dengan berita yang menakutkan terkait
virus ini. Ini jelas menunjukkan bahwa Covid-19 membawa gelombang besar
terhadap krisis bagi jurnalisme di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa jurnalisme
diera bencana dapat terpeleset menjadi bencana jurnalisme.
Hal ini terjadi karena isu yang tersebar di media massa sebelumnya didominasi oleh pemberitaan yang berkaitan jumlah pasien covid-19. Dalam waktu singkat mengalami peningkatan yang sangat cepat. Angka peningkatan pasien tersebut juga disusul dengan tingginya angka kematian akibat virus ini. Tentu hal ini berimbas pada kepanikan masyarakat pasca adanya konfirmasi kasus yang terjadi Indonesia.
Reaksi Masyarakat
Dalam pemberitaan media massa dan
vidio yang beredar memperlihatkan kota Wuhan layaknya kota mati yang tidak
berpenghuni selama masa lockdown berlangsung. Pasien yang terpapar tergelatak
disepanjang lorong rumah sakit menunggu giliran untuk mendapatkan pertolongan.
Untuk mengatasi membludaknya pasien Covid-19, pemerintah China membangun rumah
sakit darurat dengan harapan seluruh pasien dapat ditangani secara baik
sesegera mungkin.
Pengaruh yang dihasilkan dalam pemberitaan pada situasi kirisis seperti sekarang sangatlah cepat dalam menentukan perubahan sikap masyarakat. Efek dari media dapat berupa efek positif dan negatif. Cepatnya perubahan sikap masyarakat bermula dengan menyakini setiap pemberitaan yang disampaikam media massa.
Pasca diumumkannya Covid-19 di Indonesia. Santer semuanya dan memantik kepanikan massal. Hampir bisa dipastikan kepanikan terjadi lantaran langsung membayangkan situasi yang sama juga akan terjadi di Indonesia sebagaimana yang terjadi kota Wuhan.
Akibatnya masyarakat segera menghambur ke supermarket. Memborong habis stok bahan makanan pokok. Tidak hanya itu, masker, cairan pensteril tangan bahkan alat pelindung diri yang sedianya diprioritaskan penggunaannya bagi kalangan tenaga medis pun tiba-tiba raib dari pasaran. Baru dua pasien dinyatakan positif, namun publik sudah membayangkan kondisi terburuk seperti yang terjadi di Wuhan.
Dalam situasi seperti ini nalar masyarakat umum terlalu lunak. Pada era keberlimpahan informasi seperti ini. Masyakarat perlu dibebankan untuk mendapatkan berita yang benar. Tetapi yang mesti diakui secara bersama ialah kurangnya kemampuan masyarakat untuk mencerna dan memenej informasi yang ada.
Di saat yang sama pula, media massa yang digadang-gadang mampu menjadi kanal informasi akurat seputar pandemik Covid-19 nyatanya belum mampu menjalankan perannya secara maksimal. Media massa dalam banyak hal, masih kerap terjebak dalam model pemberitaan yang lebih mengedepankan efek 'sensasional' ketimbang membedah persoalan secara subtansial. Magnitud pemberitaan media massa, terutama dalam jaringan (daring) pun terkesan mengeksploitasi ketidaktahuan dan kekhawatiran publik.
Media yang Seharusnya.
Pada saat belum adanya kasus Covid-19 yang diumumkan. produk media massa yang berupa dan informasi penting lain seharusnya dalam situasi krisis seperti ini diarahkan pada upaya produksi berita mitigasi bencana. Agar publik lebih siap jika sewaktu-waktu krisis atau wabah terjadi disekitar mereka.
Tugas jejurnalistikan memiliki
peran yang sangat penting dan signifikan untuk mengalirkan arus informasi
ditengah situasi pandemik semacam ini. Media massa harus menyampaikan informasi
yang terferikasi sehingga berita yang dihasilkan semasa pandemik covid-19 dapat
membantu publik untuk melewati masa-masa krisis dengan informasi yang memadai.
Pasca umumkan sejak 03 Maret, ada
baiknya kita ditelisik kembali.
Ada rentang waktu yang cukup panjang sejak Indonesia mengonfirmasi kasus
pertamanya pada saat itu.
Jika dibandingkan dengan China dan negara-negara lain yang mengonfirmasi virus ini 1-2 bulan lebih awal. Seharusnya rentang waktu yang panjang ini media harus menjadi alarm bagi publik. Yaitu untuk menjadikan covid-19 sebagai common enemy melalui berita-berita yang bersifat mitigasi.
Hampir semua kanal berita menjadikan Covid-19 sebagai headline news. Konten utama yang muat yaitu tentang tingginya masyarakat yang terpapar. Dan juga jumlah pasien yang meninggal karena virus ini. Pemberitaan semacam ini jelas akan memperkeruh suasana. Masyarakat akan secara psikologis akan terpengaruh. Keterpengaruhan itu juga merupakan bagian dari efek media, kiranya bisa dipertimbangkan ulang.
Seandainya sepanjang rentang waktu itu, berita yang disampiakan adalah tentang mitigasi bencana ditengah wabah covid-19, setidaknya kepanikan publik terhadap virus ini dapat diantisipasi lebih awal. Pun virus itu juga tidak datang secara tiba-tiba.
Pada konteks ini kita harus memahami bahwa produk media dari hasil liputan dapat berubah layaknya pedang bermata dua. Terutama dimasa krisis seperti ini. Jika media menampilkan informasi dengan akurat dan terverifikasi, ia akan menjadi modal buat publik. Tetapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, mungkin apa yang disebut Moeller sebagai compassion fatigue dapat terjadi, yakni adanya unsur dramatisasi dalam pemberitaan yang keluar dari subtansi berita itu untuk disampaikan kepada publik.
Ekonomi Media vs Jurnalisme
Empati
Harus diakui, orientasi kerja media massa adalah untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Keuntungan itu didapatkan dari penjualan, baik dari penjualan berita maupun hiburan lainnya.
Berita yang dijual oleh media
sangatlah besar imbasnya terhadap perekonomian media massa itu sendiri.
Akibatnya media mengemas berita seapik mungkin untuk mendapatkan minat pembaca.
Maka tak heran kemudian banyak judul berita yang terlihat fantastis dan
sensasional.
Apalagi dimasa awal wabah covid-19 menyebar. Kebutuhan masyarakat luas terhadap informasi sangatlah tinggi. Semua informasi yang berkenaan dengan wabah ini dibabat habis. Proses pembabatannya pun tidak dibarengi dengan kemampuan menyaring informasi secara baik.
Sebagaimana dijelaskan Petty S. Fatimah editor majalah Femina dalam seminar yang bertajuk Media Lab "Reportase di Masa Pandemi Covid-19", yang diadakan oleh Dewan Pers Idonesia menyebutkan bahwa kebanyakan masayarakat Indonesia lebih sering mendapatkan informasi Covid-19 yang dibagikan di Media Sosial dari pada mengakses langsung diportal berita online.
Masalahnya, tidak semua informasi yang terdapat media sosial menyajikan berita yang benar. Sebagaimana Facebook yang dijadikan sebagai acuan. Padahal Facebook hanyalah sebuah perusahaan tekhnologi dan wadah untuk berekspresi. Bukan sebagai sebuah media pemberitaan.
Harus diakui media massa memiliki pengaruh kuat terhadap pembentukan opini publik dalam pemberitaannya. Seharusnya media messa tidak berjarak dengan pemerintah ditengah masa kritis seperti ini. Apalagi krisis yang dihadapi sekarang sangatlah rentan nyawa masyarakat umum.
Kedepankan jurnalisme empati
dimasa krisis. Dan tidak menjalankan model-model jurnalisme diwaktu normal.
Yang penuh dengan dramatisasi dan berita-berita sensasional. Pernyataan-pernyataan konyol tokoh publik
sebisa mungkin dihindari. Hanya dengan cara itu, media dapat menyelamatkan diri
dalam krisis jurnalisme itu sendiri.[].
Langkah awal yang baik. Lanjutkan
BalasHapusPosting Komentar